Pertanyaan:
Nenekku berdusta kepada ahli waris, yaitu anak-anak suaminya dari istri yang pertama. Nenekku mengatakan bahwa rumah dan beberapa bagian tanah telah dihibahkan oleh suaminya kepada dirinya. Nenekku telah lama tiada, sehingga harta warisan tersebut berpindah ke tangah ayahku. Sekarang, ayahku sudah meninggal, sehingga harta warisan tersebut berpindah kepada kami selaku anak-anaknya. Apakah harta warisan ini halal ataukah haram bagi kami? Kami berpikiran untuk mengembalikan harta warisan ini kepada pemilik sebenarnya. Apa yang harus kami lakukan?
Jawaban:
Apa yang dilakukan oleh Sang Nenek adalah perbuatan yang jelas tidak bisa dibenarkan. Beliau telah melakukan dua dosa besar, yaitu dusta dan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar.
قال الله تعالى : ( وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقاً مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ ) البقرة/188،
Allah berfirman (yang artinya), “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. Al-Baqarah:188)
وقال تعالى : ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيماً) النساء /29 .
Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang terjadi dengan suka-sama-suka di antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah itu Maha Penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisa:29)
Telah lamanya waktu berlalu dan meninggalnya pemilik harta yang asli sama sekali tidaklah bisa mengubah status hukum untuk realita yang ada. Hal ini tidaklah menyebabkan harta tersebut menjadi halal, baik untuk Sang Nenek ataupun ahli waris Sang Nenek.
Mayoritas para ulama dari Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa kematian tidaklah menyebabkan harta yang haram berubah status menjadi halal. Dengan demikian, kewajiban kita terkait dengan harta tersebut adalah mengembalikannya kepada pemiliknya, jika keberadaan pemiliknya diketahui. Jika tidak diketahui maka harta haram tersebut disedekahkan kepada fakir miskin.
Bahasan tentang hal ini bisa dibaca di Hasyiyah Ibnu Abidin, 5:104, Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 9:428, Ihya Ulumuddin, 2:210, Al-Inshaf, 8:323, dan Al-Fatawa Al-Kubra karya Ibnu Taimiyyah, 1:478.
Inilah pendapat yang benar yang harus diambil untuk membebaskan diri kita dari tanggung jawab di hadapan Allah.
Ibnu Rusyd Al-Jadd Al-Maliki mengatakan, “Harta yang haram tidaklah berubah menjadi halal gara-gara diwariskan. Inilah pendapat yang benar yang diharuskan oleh akal sehat. Diriwayatkan dari beberapa ulama terdahulu bahwa beliau-beliau berpendapat bahwa harta haram itu menjadi halal ketika berada di tangan ahli waris. Pendapat ini adalah pendapat yang tidak benar.” (Al-Muqaddimat Al-Mumahhadat, 2:617)
Yahya bin Ibrahim Al-Maliki mendapat pertanyaan tentang kemungkinan status harta yang haram berubah menjadi halal karena diwariskan ataukah. Jawaban beliau, “Menurut Imam Malik, harta haram tidak berubah menjadi halal gara-gara diwariskan.” (Al-Mi’yar Al-Mu’rib, 6:47)
An-Nawawi Asy-Syafi’i mengatakan, “Siapa saja yang mendapatakan harta warisan dalam kondisi tidak mengetahui sumber asal orang tuanya mendapatkannya, dari jalan yang halal ataukah haram, ditambah lagi, tidak didapatkan adamua tanda yang menunjukkan halal atau tidaknya harta tersebut, maka status hukum untuk harta tersebut adalah halal, dengan kesepakatan ulama. Akan tetapi, jika ahli waris mengetahui adanya unsur yang haram dalam harta warisan yang dia dapatkan, namun dia ragu-ragu mengenai besarannya, maka hendaknya bagian yang haram tersebut dia sisihkan. Mengenai kadar pasti yang perlu disisihkan itu mengacu kepada pertimbangan pihak ahli waris.” (Al-Majmu Syarh Al-Muhadzdzab, 9:428)
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan mengenai seorang rentenir yang meninggalkan warisan dan seorang anak selaku ahli warisnya. Si anak pun telah mengetahui kondisi harta ayahnya. Apakah harta warisan ayah ini =berubah menjadi alal karena diwariskan ataukah tidak?
Jawaban Ibnu Taimiyyah, “Kadar yang diketahui oleh anak bahwa itu berasal dari riba itu perlu disisihkan. Boleh jadi, dikembalikan kepada pemiliknya jika memungkinkan, jika tidak maka disedekahkan.
Nabi menjelaskan bahwa jika kezaliman itu terkait dengan harta maka orang yang dizalimi akan menuntut orang yang zalim. Tuntutan tidaklah ditujukan kepada ahli waris dari orang zalim tersebut. Hal ini dikarenakan ahli waris itu hanya menggantikan orang yang memberi warisan, di dunia. Jika tindakan kezaliman bisa diselesaikan di dunia maka ahli warislah yang menyelesaikannya. Jika tidak mungkin diselesaikan di dunia maka, di akhirat, orang yang dizalimi itu berhak untuk menuntut” (Al-Fatawa Al-Kubra, 1:478)
Berdasarkan uraian di atas maka harta tersebut wajib dikembalikan kepada ahli waris sebenarnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah.
Semoga Allah memaafkan nenek Anda jika harta tersebut Anda kembalikan secara utuh kepada yang memang berhak menerimanya dan Anda meminta maaf kepada mereka atas peristiwa yang telah terjadi.
Diterjemahkan dengan beberapa peringkasan dari http://islamqa.com/ar/ref/127227
Artikel www.PengusahaMuslim.com